Rabu, 29 September 2010

No Rythm

I like to sit on the pure air

But don’t know why, I don’t fall


The simple maple leaves, fall down when they’re getting brown

But I never realize my end time

Like I ready to sleep in 11.35, I never really feel sleepy


Yeah, I always dance with no rythm

With no light, with no control

I never think what is it waltz or salsa

So, I just move with the spiritual voice and say,”look, look, I dance with no rythm”


See how I make a pas de chat

See a lot of beautiful words jump out by my tongue

You change the music and pick up all of my stuffs to do it

But I never think it anymore

See my muzziness fading little by little

I dare to say I’m happy to dance with no rythm


A free step tell me why

You never understand my choice

‘cuz you’re the storm on my ocean, my waves

Oh moi monsieur, I just wanna have a few free motion


And everytime, you tell me how to make a right step

I never lift my foot without make no wrong

Once again I must say, “I don’t need your ways”

Every little ones have their ways

So do I, don’t I?


I dancing fring the s

teep stairs

‘till my foot fingers injured and bleeding

But you never want to know, that It’s my own steps

Oh, moi monsieur, I just wanna have my own rythm

Oh, moi monsieur, I just wanna have a few free motion


Oh, monsieur,

I don’t need your theory

Magelang, 28 Februari 2009

Inspired by:Voice by Rie Fu


How to Reach an Impossible Dream


Mimpi, atau cita-cita. Semua orang pasti punya. Walau belum tau konkretnya seperti apa, tapi manusia pasti punya impian untuk mencapai sesuatu. Mungkin ingin jadi dokter, guru, pelukis, aktor, atau bahkan sesuatu yang abstrak seperti 'berguna bagi nusa dan bangsa.' Tapi itu semua adalah keinginan yang lahir dari hati kita, jadi sah-sah saja.

Tetapi seperti orang bilang, bermimpi itu memang mudah. Yang jadi masalah adalah bagaimana cara mencapainya. Tak begitu jadi masalah jika kita sudah punya bayangan bagaimana harus melangkah, atau malah sudah menjalani sedikit dari proses pencapaian impian tersebut. Tetapi bagaimana jika mimpi kita sangat sulit dicapai, atau bahkan terkesan mustahil untuk dicapai?

Hal ini bisa saja terjadi. Mungkin karena keadaan ekonomi, intelektualitas, masa lalu yang buruk, atau yang paling fatal : keragu-raguan terhadap mimpi tersebut.
Ada satu pertanyaan mendasar berkaitan dengan hal ini. Bagaimana membuat sebuah garis di atas kertas menjadi lebih pendek? Tidak dengan menghapusnya, atau melipat bahkan memotong kertas itu.
Bingung? Caranya adalah dengan menjejerkan atau menggambarkan sebuah garis yang lebih panjang di sebelahnya. Pertanyaan ini kelihatannya simpel, tapi sebenarnya kompleks. Ini bukan soal bagaimana melakukannya, tapi dari sudut pandang mana kita melihatnya. Garis itu tak bertambah atau berkurang, tapi dengan garis yang lebih panjang itu, mau tak mau garis pertama menjadi lebih pendek 'di hadapannya'.

Begitu pula dengan bagaimana menghadapi mimpi yang nampaknya mustahil. Jika ingin mencapai suatu mimpi yang mustahil, maka bermimpilah hal yang lebih mustahil lagi! Mungkin nampaknya membingungkan, tetapi dengan bermimpi hal yang lebih mustahil, hal mustahil pertama yang kita impikan akan menjadi nampak mudah untuk digapai. Dan kita pun akan menjadi lebih bersemangat untuk berusaha! :)

Rabu, 15 September 2010

A Football Keeper


Orang bilang, jangan hanya melihat setitik noda yang ada pada sehelai kertas. Tapi juga lihatlah kertas putih bersih yang ada di sekeliling noda tersebut. Anda pasti paham maksudnya :)
Di balik segudang keburukan, pasti ada kebaikan yang, kadang, tersembunyi. Ada fenomena menarik di sini.


Anda, penggemar sepak bola atau bukan.. pasti tahu posisi pemain dalam permainan ------yang disebut------ paling digemari di dunia tersebut. Dan pasti Anda tahu pemain yang disebut kiper. Si penjaga gawang. Tugasnya adalah mencegah bola lawan agar tidak masuk ke dalam gawang. Kalau dipikir, perannya sangat penting. Tanpa kiper berkualitas, permainan sebagus apa pun rasanya akan percuma saja.

Tetapi ada sesuatu yang aneh. Di antara pemain-pemain 'bintang' dari berbagai klub sepak bola, jarang ada seorang kiper yang sangat tenar dan digilai orang. Apalagi yang karirnya sampai merambah dunia entertainmen seperti menjadi model fashion atau pun sekadar bintang iklan. Mengapa?

Saya tak bisa menyodorkan jawaban. Karena jawaban harus anda renungkan sendiri.

Seorang kiper, ketika ia berhasil mencegah sebuah bola masuk ke gawang, sebanyak apa pun. Dan sehebat apa pun tendangan dari bola itu, ia jarang sekali menerima gegap gempita penonton. Ia tak dielu-elukan oleh rekan-rekannya. Tetapi lain halnya bila ia gagal menguasai bola. Para penonton akan marah. Tak jarang kemarahan ini berubah menjadi kerusuhan yang seringkali menimbulkan kerugian moril dan material. Tak hanya itu, tak ada support dari rekan-rekannya. Mereka malah seringkali menunjukkan ekspresi kecewa yang disadari atau tidak, bisa melukai hati sang kiper. Kemungkinan terburuk, kiper malang itu bisa dipecat jika 'kerusakan' yang dilakukannya fatal, misalnya pada pertandingan besar.

Nah, melalui penggambaran ini, saya ingin mengajak anda sekalian merenungkan. Apa kita sudah benar-benar 'melihat tidak hanya nodanya tapi juga kertas putihnya'?


Kamis, 26 Agustus 2010

SMAPA Language Class

Language Class atau Kelas (Jurusan) Bahasa adalah kelas jurusan khusus yg cuma ada di SMA N 4 Magelang. Beberapa generasi, member dari kelas ini jarang ada yang mencapai jumlah 30 siswa (wow, makhluk langka). Karena itu tiap tahun guru-guru pun berlomba untuk 'menyeret' siswa-siswa masuk jurusan ini. Karena sudah sejak lama mereka terdoktrin bahwa jurusan bahasa adalah jurusan buangan bagi siswa yang tidak bisa masuk jurusan IPA maupun IPS. Tetapi dengan jumlah siswa yang minim tersebut, kelas ini justru lebih nyaman dan efektif bagi KBM karena guru bisa lebih terfokus pada masing-masing anak.

Dari segi siswa, penghuni kelas ini dicatat tidak punya sejarah anak 'normal'... =='
ini nih contohnya...




memang rada sakit jiwa yah?? Wkwkwkkwk...

Kalo saya mah.... NORMAL!! (padahal lebih parah kalo lg teater...)





Ini dia nih salah satu oknum dan biang keladi dari kegilaan yang terjadi.. XD


Jreng Jreng Jreng!!! Letnan Suroso alias Aditya Hendra...


Pelajaran di jurusan bahasa meliputi pelajaran dasar seperti B.Indo, B.Inggris, Matematika, Agama, PKn, Seni (Rupa), dst. Dan pelajaran khususnya yaitu: Sastra Indo (siapa yg tahu Butet Kertaredjasa n WS Rendra??? saya sudah pernah ketemu lohhh... ), Public Speaking (gojlokan mental nih buat yg g berani ngomong di depan umum), Bahasa Jepang ( hajimemashite, Kagami desu. Magelang kara kimashita. Doozo yoroshiku onegaishimasu), dan Sastra Arab Melayu (saya paling bodoh sekelas @.@) dan Antropologi (ilmu sosial tentang kebudayaan).

Kepercayaan masyarakat mengatakan kalo siswa jurusan bahasa masa depannya kurang terjamin. Padahal sama sekali nggak lho.. Banyak lulusan dari jurusan bahasa yang bisa diterima di Universitas bonafit kaya UGM ato UI. Masuk jurusan bahasa juga lebih memudahkan dalam pekerjaan yang berbekal kualitas berbahasa asing seperti guide tour atau bahkan sekretaris yang justru masa depannya terjamin.

Asal tahu, bank-bank besar lebih suka mengambil anak-anak dari fakultas bahasa daripada dari fakultas akuntansi untuk bekerja. Alasannya, jika mengambil dari fakultas akuntansi, dikursuskan bahasa asing tiga bulan pun mereka belum tentu bisa fasih. Padahal pekerjaan di perbankan sangat membutuhkan tenaga yang ahli berbahasa asing. Tetapi jika mengambil dari fakultas bahasa, mereka bisa mempelajari akuntansi secara bertahap karena mereka pun mendapatkan pelajaran Matematika.

Selain itu, fasih (bukan sekedar bisa lho..) berbahasa asing juga lebih membuka jalan untuk pergi ke luar negeri loh... Banyak kok lulusan jurusan bahasa yang bisa melanglang buana (hasyah). So, siapa yang pengen pergi ke Jepaaaaaaaaang??? Tunjuk jari!!! Mari, masuk jurusan bahasa ;)

SLAVE

jemari dibeku waktu
lengan tiada daya

jerit tertindih kekuasaan
kekuatan, tak terperi

engkau yang menggenggam rantai leher kami
kasihanilah
kamu yang mengarak kami kepada tiang gantung
dengarlah doa kami

kami
kami budak
kecil terinjak di bawah sepatumu
kabulkanlah doa kami..

Aoi Yume ~Yume Series~

Celaka. Di tengah denyut nyeri dalam kepalaku akibat kecelakaan seminggu yang lalu, aku tersesat dalam mimpi. Mimpi yang teramat asing, baik rupanya maupun rasanya. Aku paling kesal dengan mimpi yang seperti ini. Mimpi yang tidak mengada-ada dan punya alur cerita, seperti film atau novel yang sering kubaca. Bukan apa-apa, tapi seringkali mimpi-mimpi itu harus berakhir tidak di saat semestinya karena aku terbangun. Menyisakan rasa aneh yang juga diakibatkan kebiasaanku penasaran pada setiap cerita.

Mimpi yang asing. Tempat yang asing. Aku menjadi orang yang asing pula. Bukan diriku. Karena kurasakan tubuh ini bukan tubuhku yang sedang tertidur dalam ketidaklelapan. Aku bahkan memakai pakaian yang sama sekali belum pernah kupakai, yukata. Maka bisa kupastikan tempat ini di Jepang, entah Jepang yang bagaimana. Karena tidak seperti Jepang yang sering kulihat pada foto-foto di kalender. Yukata itu panjangnya hanya selutut, seperti yang biasa dipakai anak-anak. Kakiku tak beralas. Menapak di jalan dari batu persegi panjang berwarna kelabu. Udara dingin membuatku agak kaget, karena tadi aku tak begitu merasakannya.

Kulihat sekeliling, sekitarku penuh kabut. Tapi langit berwarna biru cerah, dan di kanan kiriku bunga-bunga sakura di pohonnya sedang bersemi. Kelopak-kelopaknya berterbangan dengan ringan. Berwarna pink dengan semburat putih cantik. Ini musim semi, pantas agak dingin. Tapi tempat ini benar-benar terasa ganjil, aku tak mendengar apa pun. Suara burung pun tidak. Bahkan tak ada seorang pun kecuali aku di sana. Membuatku tak menyadari setting waktu. Ini Jepang era kuno! Di sebelah kiriku, berdiri dinding benteng yang tinggi dan panjang. Entah berapa meter panjangnya, karena mataku tak dapat melihat di mana dinding ia berujung. Ini seperti jaman heian, seribu tahun sebelum milenium kedua. Tapi apa iya, aku tetap tak yakin.

Aku tak berani bergerak, sebelum angin yang berhembus agak kencang menerbangkan kelopak-kelopak sakura itu. Membuatku melindungi kedua mataku dengan lengan agar tak ada debu atau serbuk bunga yang masuk. Setelah anginnya reda, aku bersin-bersin oleh serbuk bunga, yang menempel dan terasa gatal di hidung. Tapi rupanya angin itu mengusir sedikit banyak kabut yang menghalangi pandangan. Pemandangan beberapa meter dariku yang terasa bernuansa biru menyeruak. Di depan sana, di salah satu sudut tempat yang kuingat mungkin bernama Sakura Dori (Jalan Sakura), sesosok tubuh membungkuk entah karena apa. Kimononya yang panjang menggelesar di jalanan, berwarna biru muda tanpa motif. Rambutnya yang panjang digerai dipermainkan angin, dan punggungnya yang kulihat ramping membuatku berseru sambil berlari menghampirinya,

“Nona, anda baik-baik saja?!” aku terkejut pada bahasa asing yang keluar dari mulutku. Bahasa yang kuingat tak pernah kukuasai sebelumnya. Ketika akhirnya aku berada dekat sekali dengannya, ia mendongak menatapku yang setengah bingung.

“Iya. Hanya ada sedikit masalah. Tapi tak apa-apa.” Wajahnya yang rupawan tersenyum. Tapi wajah itu malah membuatku bertambah bingung. Wajahnya cantik dan kulitnya putih sekali layaknya wanita Jepang, tapi garis wajahnya yang agak keras serta matanya yang tajam dan dalam mematahkan dugaan itu. Walau begitu, rasanya tak sopan menanyakan secara terang-terangan jenis kelamin sosok cantik ini, apalagi aku telah memanggilnya ‘nona’. Jadi kubiarkan saja ucapanku tadi sambil berharap ia tak mendengar kata yang satu itu karena tertelan angin.

“Masalah apa itu? Mungkin bisa kubantu?” kataku sopan, lagi-lagi dengan bahasa yang asing tapi entah bagaimana kupahami artinya. Paling tidak aku bermaksud baik, walau salah memanggilnya nona.

“Kau gadis manis yang baik.” Pujinya. “Getaku patah saat aku tersandung akibat lubang di jalan tadi. Dan sekarang kantung kimonoku robek karenanya. Isinya pun berjatuhan semua.” Ia menunjuk bijih-bijih yang berserakan di jalanan. Bijih berwarna-warni itu tetap akan di situ kalau kupandangi saja.

“Tapi kau tidak terluka, ‘kan?” tanyaku.
“Tidak.” Ia menjawabnya sambil berdiri. Tubuhnya ternyata tinggi sekali bagiku. Atau mungkin aku yang terlalu pendek baginya. Kimononya panjang dan tebal seperti yang dipakai para punggawa istana. Tapi rambutnya yang panjang digerai menunjukkan ia bukan salah satu dari mereka. Membuatku makin penasaran dengan siapa dia sesungguhnya.

“Kalau begitu kubantu memungutnya, ya.” Pintaku. Senyumnya menjawab. Aku mulai memunguti bijih-bijih aneka bentuk itu. Sesekali mendongak, memeriksa langit yang sepertinya tak berubah sedari tadi. Bahkan awan putih itu pun tidak berubah bentuk. Ia melepas getanya yang patah dan ikut memunguti bijih-bijih itu. Ada jeda yang teramat hening di antara kami. Dan itu membuatku jadi ingin menangis.

“Sedang apa kamu di sini? Kurasa kau terlalu kecil untuk berjalan-jalan seorang diri.” Tanyanya masih sambil memunguti bijih-bijih itu.

“Aku tak bisa menjelaskannya.”
“Rumahmu?”
“Aku tak bisa menjelaskannya. Aku tersesat.” Hanya kata itu yang bisa kupikirkan untuk menjelaskan kalimatku sebelumnya. “Aku berjalan begitu jauh dan tak tahu di mana ini.” Kataku berbohong. Berharap bisa tahu sesuatu dari jawabannya. Dia tersenyum menatapku. Merapihkan rambutnya yang sama sekali tak kusut tertiup angin dan mengikatnya jadi satu. Entah mengapa, aku merasa mengenali gerakannya itu. Tapi aku sama sekali tak punya ide tentang siapa.

“Tempat ini tak punya nama.”

Aku tertegun. Tak ada tempat yang tak punya nama. Bahkan dalam mimpi. Atau paling tidak, nama yang aneh. Tapi tak ada tempat yang benar-benar tak punya nama.

“Atau kau tak tahu namanya?” tanyaku menyindir. Ia malah tertawa.
“Bisa jadi. Tapi di sini bahkan tak ada seorang pun kecuali kita. Kau lihat ‘kan.” Aku mengangguk mengiyakan.

“Aku adalah orang yang tersesat. Maka kau adalah orang yang ditakdirkan sejak awal di sini? Tinggal sendiri di tempat yang aneh ini?” tembakku beruntun. Perasaanku benar-benar ganjil di sini. Tidak bisa dibilang firasat buruk, hanya aneh.

“Tidak, aku pun anak yang hilang.” Katanya sambil sibuk memunguti bijih-bijih itu. Yang nampak penting baginya. “Aku tak tahu sejak kapan. Kau lihat sendiri, waktu seperti tak berputar di sini. Walau tumbuhan tumbuh seperti biasa. Tapi siang dan malam berganti seperti tiba-tiba saja.”

“Seperti apa maksudmu?”

“Mm...” dia berpikir. “Seperti seekor ikan yang besar menelan matahari. Maka datanglah malam. Dan jika ikan itu memuntahkannya kembali. Berarti pagi datang. Aneh ‘kan?”

“Bukan hanya aneh.” Kenapa harus ikan? Tanyaku dalam hati.

“Pemandangan langitnya bahkan seperti itu terus sejak pertama kali aku terdampar di sini.” Perasaan ganjil itu makin menguat dan membuat jantungku berdetak lebih cepat hingga bisa kudengar. Cukup. Rasanya aku tak ingin membicarakannya lagi.

“Bijih-bijih ini,” kataku sambil memasukkannya ke dalam kantung yang dia berikan, “sebenarnya bijih pohon apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Dia tersenyum. “Aku tak tahu. Aku memungutnya acak saja di Gunung Kabut.” Dia meletakkan kantung itu di pinggir jalan. Dan melanjutkan pekerjaannya. “Bagus bukan? Menarik menunggu sampai ia tumbuh untuk mengetahui siapa dia.”

“Apa katamu tadi? Gunung Kabut? Di mana itu?”

“Di sana.” katanya sambil menunjuk arah di belakang punggungku. Tanpa kusadari, aku memunguti bijih-bijih itu sambil membelakangi tempat aku ‘datang’. Aku berpaling, tapi tak ada yang bisa kulihat. Hanya kabut.

“Di mana? Aku tak bisa melihat apa pun.” Protesku bingung.

Dia tertawa geli, tapi sopan. “Namanya juga Gunung Kabut. Penuh kabut.” Hal itu membuat perasaanku tak enak lagi. Apa aku datang dari tempat yang ‘gelap’ seperti itu?

Pekerjaan itu akhirnya selesai juga. Walau tak semua karena ada bijih yang sudah bercampur tanah sehingga sulit dipisahkan. Aku memasukkan rombongan bijih terakhir ke dalam kantung yang lalu diikatnya kencang. Ia menegakkan tubuhnya dan memukul-mukul punggungnya seperti orang tua sakit encok.

“Waktu yang seperti tak berjalan membuatku merasa tua.” Katanya menjelaskan sambil tertawa, menertawakan diri sendiri. Aku ikut tertawa, getir.

“Terima kasih atas bantuanmu. Setelah ini aku akan pulang. Apa kau mau tinggal?” kata itu seperti memberitahuku bahwa aku akan jadi sepertinya. Orang yang menetap setelah tersesat. Tak bisa kembali.

“Pulang? Bagaimana kau bisa punya rumah di sini? Katamu tadi kau juga tersesat.”
“Ya. Aku membangunnya.”

“Di mana?” aku bimbang. Apa lebih baik ikut saja?

“Di sana.” dengan tiba-tiba, dia berbalik dan menunjuk gunung di belakangnya. Gunung itu besar dan gelap, nampak lebat hutannya. Mungkin dia yang menanami pohon-pohon itu. Berdiam di sana seperti penjaga tempat tak bernama ini. Dan membuat detak jantungku berpacu sangat kencang. Denyut nyeri kepalaku itu terasa lagi dan semakin sakit. Kurasakan aku mulai sulit bernafas.

Satu angin yang kasar meniupku. Menutup pintu yang kulalui kepada mimpi ini. Gelap. Semua gelap.

“Tidak.” Bisikku putus asa menjawab pertanyaannya tadi. Aku terlempar jauh. Tapi masih bisa kulihat dalam mataku, wajahnya yang begitu terang tersenyum. Senyum tanpa arti. Tapi bisa juga berarti banyak.

Dalam satu sentakan aku terbangun. Tubuhku basah kuyup oleh keringat dingin. Entah karena mimpi itu atau karena kepalaku yang nyeri bukan main. Kulihat ke sampingku. Mama masih tidur, tak terbangun sama sekali. Kurasakan jantungku masih berdetak kencang. Ada apa ini? Perasaan ganjil itu masih mengendap.

Kubaringkan lagi tubuhku. Tapi aku benar-benar sudah tak bisa tidur. Mataku hanya memandang kesana kemari tanpa mau tertutup. Padahal kepala ini pening sekali. Itulah akibatnya jika mimpimu tak selesai karena dorongan bawah sadar. Dorongan oleh ketakutan.
Itu hanya mimpi. Tegasku dalam hati. Aku memejamkan mata walau tetap saja tak tidur. Berusaha keras, mengingat-ingat wajah ‘dia yang tinggal dalam mimpi’ dan mematrikannya dalam ingatanku. Entah bagaimana aku merasa suatu saat akan tahu siapa dia. Akan bertemu dengannya atau bagaimana pun, harus bertemu. Lagi-lagi, walau perasaan itu sangat kuat, tapi tetap saja: entah mengapa.

Magelang, 12nd June 2009

*****12.32*****

Jumat, 04 Desember 2009

ima ~sekarang~

walau terus menghadap ke depan
walau terus mengingat
yang terlewat
tapi sungguh
hanya sekarang yang ada

walau terus menangis sesal
walau terus mengharap
tapi sungguh
hanya sekarang
di dalam hidupmu

masa yang sebenarnya
sekarang yang sebenarnya
saat ini pun
jangan lari dari
sekarang